Asal Usul Desa Betoyo Manyar Gresik
ASAL USUL DESA BETOYO MANYAR GRESIK
Oleh: Masnukhan
Kyai Darmo Pipiyudo adalah pendatang yang pertama
masuk ke daerah sebelah barat Manyar. Daerah itu belum dihuni banyak
penduduk. Hanya ada beberapa rumah di daerah itu. Daerah itu dikelilingi
rawa-rawa sehingga bila dilihat dari luar daerah itu seperti hamparan
rawa yang luas yang ditumbui rerumpuutan dan ilalang yang menjulang.
Orang tidak menyangka kalau di tengah-tengahnya terdapat pemukiman
penduduk
Kyai Darmo Pipiyudo berasal dari negari seberang. Ia
berasal dari kota suci Mekah. Ia meninggalkan negaranya dan mengembara
demi menyebarkan agama Islam. Dalam pengembaraannya itu ia sampai di
daerah itu dan merasa nyaman tinggal di tempat itu.
.Kyai Darmo Pipiyudo dituakan dan ditokohkan di
daerah itu karena ia satu-satunya pendatang pertama dan yang paling tua
umurnya di anatara pendatang lainnya. Ia sangat disegani dan dihormati
oleh penduduk setempat. Apapun yang dikatakannya penduduk setempat
selalu mematuhinya.
“Daerah ini tidak waris kalau dipimpin oleh
penduduk asli. Bila yang memimpin daerah ini berasal dari penduduk asli
maka pemimpin itu tidak akan lama. Ia tidak akan berumur panjang” kata
Kyai Darmo Pipiyudo suatu ketika kepada penduduk setempat. Ucapan itu
benar-benar dipegang teguh oleh penduduk setempat. “Meskipun pemimpin
itu pintar tapi ia tidak akan kuat memimpin daerahnya sendiri. Daerah
ini yang cocok dipimpin oleh penduduk pendatang meskipun ia tidak begitu
pintar tapi akan kuat memimpin daerah ini” tambahnya.
Suatu ketika daerah itu dipimpin oleh penduduk asli.
Ia tidak lama memimpin daerah itu. Tidak lama memimpin daerah itu ia
meninggal dunia Peristiwa ini memperkuat keyakinan penduduk terhadap
ucapan Kyai Darmo.
“Abah saya mohon izin untuk memimpin daerah ini” kata Laras Mudin kepada abahnya.
“Menurut Abah, kamu ini kurang tepat kalau memimpin daerah ini” kata Kyai Darmo.
“Mengapa demikian, Abah?”tanya Laras Mudin.
“Menjadi seorang pemimpin itu harus seorang berhati segoro
karena pemimpin itu akan berhadapan dengan berbagai macam penduduk yang
mempunyai watak yang berbeda-beda. Sifat ini yang belum kamu miliki
anakku.”jelas Kyai Darmo.
“Berarti Abah tidak memberi izin saya untuk memimpin daerah ini?”tambah Laras Mudin.
“Bukan begitu, anakku. Abah hanya memberikan
pertimbangan kepadamu supaya kamu pikirkan matang-matang sebelum kamu
teruskan niatmu itu. Keputusan itu ada padamu karena kamu sudah dewasa.
Sebagai orang tua Abah hanya memberikan nasihat kepadamu.” kata Kyai
Darmo.
Laras Mudin atau yang lebih dikenal penduduk dengan
panggilan Mbah Mudin akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjadi
pemimpin di daerahnya. Ia sudah memikirkan masak-masak dan sudah
mempertimbangkan baik-buruknya. Ia membenarkan ucapan abahnya kalau
wataknya kurang cocok sebagi seorang pemimpin. Ia merasa kalau dirinya
keras dan kaku. Watak itu memang kurang sesuai dengan watak seorang
pemimpin. Ia tidak mempunyai hati samudra sebagaimana yang disyaratkan
Abahnya. Ia manyadari bahwa masyarakat akan melawan kalau dipimpin
dengan menggunakan kekerasan dan tangan besi.
Sauatu hari Kyai Darmo kedatangan seorang tamu.
“Assalamu alaikum” sapa tamu itu..
“Walaikum salam warahmatullah wabarokatuh” jawab Kyai Darmo.
“Kisanak ini siapa dan dari mana?” tanya Kyai Darmo.
“Maaf, Kyai. Saya Jakfar dari Tuban” Jawab Sayid Jakfar.
“Ada keperluan apa Kisanak datang ke gubuk kami?” tanya Kyai Darmo kepada tamunya dengan nada rendah.
“Saya ke sini ingin menimbah ilmu kepada Kyai. Saya
sudah mendengar banyak tentang Kyai. Ketinggian ilmu Kyai sudah kondang
sampai di daerah kami. Oleh karena itu, saya jauh-jauh datang ke sini
untuk berguru kepada Kyai”tutur Sayid Jakfar.
“Saya tidak mempunyai ilmu apa-apa. Semua ilmu itu
milik Allah subhanallahu wa ta ala. Saya hanya ditipipi setetes ilmu-Nya
saja. Hanya orang-orang yang terlalu membesar-besarkan” jawab Kyai
merendah.
“Saya tidak salah memilih Kyai sebagai guru saya karena orang berilmu tinggi namun rendah hati” ujar Sayid Jakfar.
Sayid Jakfar diterima Kyai Darmo sebagai murid. Ia
diajari ilmu yang diingini. Ia sangat senang mempelajari ilmu yang
diberikan gurunya karena itu sudah menjadi tekadnya. Ia ditugasi gurunya
melakukan tapa demi kesempurnaan ilmu yang dipelajarinya. Ia melakukan
tapa sesuai dengan petunjuk gurunya hingga sempurna tapanya. Usai
melaksakan tapanya ia ditugasi Kyai Darmo memimpin daerah itu. Sebagai
seorang murid yang taat, ia menurut perintah gurunya. Ia menjadi
pemimpin di daerah itu. Namun, ia tidak lama menjadi pemimpin daerah
itu. Ia meninggal dunia. Hal ini juga berulang pada murid Kyai Darmo
yang bernama Sayid Abdur Rahman. Ia juga bernasib sama dengan Sayid
Jakfar meninggal dunia tidak lama setelah memimpin daerah itu. Hal
serupa juga dialami murid ketiga Kyai Darmo.
Daerah itu tidak ada yang memimpin karena pemimpinnya
meninggal dunia. Atas saran Kyai Darmo selaku orang yang dituakan di
daerah itu akan diadakan pemilihan pemimpin yang baru. Wara-wara
dikumandangkan di mana-mana bahwa akan diadakan pemilihan pemimpin
daerah itu. Semua penduduk boleh mencalonkan diri, baik penduduk asli
maupun penduduk pendatang dari daerah lain.
Setelah lama diumumkan kepada penduduk, ada dua orang
yang mencalonkan diri sebagai calon pemimpin daerah itu. Mereka kakak
beradik, Sayid Noroyudo dan adiknya yang bernama Sayid Simoyudo.
Penduduk daerah itu mengadakan pemilihan calon
pemimpinnya Mereka berbondong-bondong menuju ke tempat pemilihan.
Mereka antri mendapat giliran. Mereka memilih calonnya dengan memasukkan
biting ke dalam bumbung yang telah disediakan untuk
masing-masing calon. Setiap penduduk yang telah memiliki hak pilih
mendapatkan satu biting.
Setelah penduduk yang mempunyai hak pilih itu
melakukan pemilihan dan batas waktu pemilihan yang ditentukan sudah
dilalui. Panitia pemilihan mengadakan penghitungan biting yang
dimasukkan ke dalam masing-masing calin pemimpin.
Dalam pemilihan itu Sayid Simoyuda memenangi
pemilihan itu mengalahkan kakaknya, Sayid Noroyudo. Sayid Simoyudo
dikukuhkan sebagai pemimpin baru di daerah itu menggantikan pemimpin
yang telah meninggal dunia.
Sayid Noroyudo merasa malu karena dikalahkan adiknya
dalam pemilihan itu, ia memilih pindah meninggalkan daerah itu. Ia
pindah ke barat ke daerah Pentol. Di daerah barunya itu ia menjadi tokoh
yang disegani karena ilmunya. Di daerah ini ia mendidirkan tempat
ketangkasan ilmu yang berada di tengah-tengah desa. Dengan adanya tempat
adu ketangkasan ilmu itu sering terjadi keributan dan pertengkaran
antara warga desa Pentol dan desa Tanggul rejo. Agar tidak sering
terjadi keributan di desa Pentol itu pada saat adu ketangkasan maka desa
Pentol diganti nama menjadi desa Sumberrejo Penggantian nama itu
diharapkan dapat memberikan suasana baru.
Suatu hari Sunan Giri Gresik pulang dari pengembaraan
dan sampai di daerah Pedurungan. Ia dikuti santrinya. Di daerah itu
santrinya kehausan. Mereka tidak menemukan air tawar yang dapat diminum.
Santri-santrinya diutus mencari air di sekitar daerah itu namun tidak
menemukan. Di daerah itu airnya asin semua sehingga tidak bisa diminum.
Melihat santrinya sudak tidak kuat lagi menahan rasa laparnya, Sunan
Giri menancapkan tongkatnya ke tanah. Bekas tancapan tongkat itu
mengeluarkan sumber air tawar. Para santrinya sangat senang melihat air
tawar itu. Mereka segera mengambil air dan meminumnya untuk
menghilangkan rasa dahaganya. Sumber air itu menjadi sebuah sumur dan
berada di tengah-tengan pasar Pedurungan.
Setelah puas mengisi perutnya dengan air tawar dan
jernih itu, rombongan Sunan Giri meneruskan perjalanan menuju ke selatan
sampai di daerah Tambak Brekat. Terik matahari menguras air yang
ditampung di perut mereka. Sengatan matahari itu menyebabkan
kerongkongan mereka kering kerontang lagi. Mereka merasa haus. Mereka
mencari sumber air tawar di daerah itu tidak menemukan. Mereka menghadap
kepada Sunan Giri kalau di tempat itu tidak ditemukan sumber air tawar
yang bisa diminum padahal rasa haus mereka sudah tidak bisa ditahan
lagi. Sunan Giri mengangkat tongkat yang dipegang di tangan kanannya
Tongkat itu ditancapkan ke tanah. Tongkat itu masuk ke tanah dengan
mudahnya Tanah itu menjadi berlubang dan lubangnya semakin membesar
membentuk sumur. Sumur itu mengeluarkan air tawar yang jernih. Santri
Sunan Giri segera mengambil air dan minum sepuas-puasnya.
Rombongan itu meneruskan perjalanan ke arah timur
setelah beristirahat beberapa saat di daerah Tambak Brekat. Mereka
berjalan kaki menyusuri jalan itu dibawa panasnya matahari yang membakar
kulit. Rombongan itu sudah jauh meninggalkan daerah Tambak Brekat. Di
tengah perjalanan salah seorang santrinya menderita sakit. Ia mengalami
kecapekan selama dalam perjalanan. Santri yang sakit itu minta minum
karena kehausan. Sunan Giri menyuruh santrinya untuk mencari air di
sekitar daerah itu. Mereka tidak menemukan sumber air tawar di sekitar
daerah itu. Sunan Giri menggunakan tongkatnya untuk membuat sumber air
sebagaimana yang dilakukan saat di Pedurungan dan Tambak Brekat.
Diangkatnya tongkat di tangan kanannya itu dan ditancapkan ke tanah.
Setelah tongkat itu dicabut tak setetespun air yang keluar dari bekas
tancapan tongkat itu. Santri yang memperhatikan dan menunggu keajaiban
sebagaimana yang mereka alami sebelumnya tidak terjadi. Mereka merasa
keheran-heranan. Sunan Giri menancapkan tongkatnya lagi ke tanah untuk
kali kedua namun air tak kunjung keluar dari tanah tersebut. Mereka
merasa lebih heran lagi mengapa tidak seperti sebelumnya hanya dengan
sekali tancap langsung keluar sumber airnya denga deras. Mereka tidak
berani bertanya kepada gurunya. Sunan Giri mengilanginya sampai ketiga,
keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedepalan, dan kesembilan. Hasilnya
nihil tidak ada sumber air yang keluar dari tanah bekas tancapan itu.
“Santri-santriku, rupanya Allah menguji kesabaran
kita” kata Sunan Giri.”Kita harus tabah terhadap ujian yang diberikan
Allah kepada kita” tambahnya. Para santrinya yang mendengar tidak
menjawab sepatah kata pun hanya menganggukkan kepala.
“Pergilah kamu mengabil air tawar untuk temanmu yang
sakit ini di tempat yang ada sumber air tawarnya itu” kata Sunan Giri
sambil menunjuk daerah yang baru saja ditinggalkannya.
“Dengan apa saya harus membawa air itu Kanjeng
Sunan?”tanya santri yang ditunjuk itu. Sunan Giri belum sempat menjawab
pertanyaannya santri itu terburu-buru pergi meninggalkan tempat itu.
Sunan Giri merawat santrinya yang sakit. Santri itu dibaringkan di bawah
bawah yang rindang agar tidak semakin haus terkena sengatan sinar
matahari. Santri lainnya memijat-mijat kaki dan tangan temannya yang
sakit.
“Haus…haus…haus” ujarnya pelan.
“Sabar sobat sebentar lagi teman kita datang membawa air” ujar temannya.
Sementara itu santri yang ditugasi mengambil air itu
terus berjalan cepat agar sampai di tempat yang dituju sambil memikirkan
wadah untuk membawa air. Di tengah perjalanan ia melihat sebuah buah
kelapa muda yang baru saja terjatuh dari pohonnya. Pikirannya pecah. Ia
mengambil buah kelapa itu. Buah itu dilemparkan ke tanah keras-keras
sehingga pecah dan terbelah menjadi dua. Ia bergegas-gegas menuju sumur
yang dibuat Sunan Giri dengan tongkatnya itu. Pecahan buah kelapa itu
digunakan untuk mengambil air di sumur. Kini kedua tangannya membawa
pecahan buah kelapa yang telah terisi dengan air. Ia tidak bisa berjalan
cepat lagi sebagaimana pada saat pergi. Ia tidak ingin air yang
dibawanya tumpah. Ia tidak ingin sia-sia pulang balik dengan tidak
membawa air. Kasihan temannya yang menunggunya.Ia berjalan dengan
hati-hati. Panas matahari tidak dihiraukannya.
Sunan Giri memandangi ke jalanan melihat santri yang
diutusnya. Ia senang sekali melihat santrinya sudah nampak menuju ke
arahnya. Santri itu berjalan semakin mendekati Sunan Giri.
“Kowe ini nggowo opo?” tanya Sunan Giri kepada santrinya yang datang dengan kedua tangannya membawa belahan buah kelapa.
“Beto toyo, Kanjeng Sunan” jawabnya singkat sambil menyodorkan kedua tangannya. Atas peristiwa itu daerah itu dinamai Betoyo
Sunan Giri mengambil belahan buah kelapa yang berisi
air itu dan diminumkan kepada santrinya yang sakit dan mengaduh
kehausan. Santri meminum air itu. Air itu membawasi tenggorokannya yang
kering. Rasanya seperti minum air bercampur es.
“Alhamdulillah, terima kasih sobat kamu telah bersusah payah mengambil air untukku” katanya pelan.
“Maafkan segala kesalahanku. Rasa-rasanya umurku
sudah tidak akan lama lagi. Asyhadu an la ilaha illallah waasyhadu anna
Muhammadar rasulullah” ujar santri itu setelah minum air itu.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” terdengar dari Sunan Giri dan santrinya.
Santri itu meninggal dunia di tempat itu yang kini
bernama Betoyo. Sunan Guru dan santrinya dibantu penduduk setempat
merawat jenazahnya, mulai dari memandikan, mengkafani, mensalati, hingga
menguburtkan. Santri itu dimakamkan di Betoyo. Pemakaman tempat santri
itu dikuburkan dinamakan makam Sawo. Pada saat itu Kyai Darmo Pipiyudo
sudah meninggal dunia. Ia disemayamkan di makam yang berada di
tengah-tengah desa. Penduduk desa menyebut makam Kyai Darmo Pipiyudo itu
dengan sebutan Makam Buyut Deso. Makam Kyai Darmo Pipiyudo banyak
diziarahi peziarah terutama pada malam-malam ganjil sepuluh hari akhir
bulan Ramadan. .